V FASE-FASE PERJUANGAN HMI 1. Fase Pengokohan (5 Februari - 30 Nopember 1947) Fase ini adalah untuk mengkokohkan eksistensi HMI, maka di adakan aktivitas untuk popularisasi organisasi dengan mengadakan cerama, rekreasi, malam kesenian, mendirikan cabang-cabang baru, diantaranya Cabang Klaten, Solo, Malang, dan Yogyakarta. Pengurus terbentuk
FaseFase Perkembangan HMI dalam Perjuangan Bangsa Indonesia • Fase Konsolidasi Spiritual (1946-1947) • Fase Pengokohan (5 Februari 1947 - 30 November 1947) Selama lebih kurang 9 (sembilan) bulan, reaksi-reaksi terhadap kelahiran HMI barulah berakhir. Masa sembilan bulan itu dipergunakan untuk menjawab berbagai reaksi dan tantangan yang
Sejakdari berdirinya telah banyak melewati fase-fase perjuangan, mulai dari fase keemasan dan fase kemunduran sebagai bukti dalam kondisi apapun perkaderan di HMI tetap berjalan. Romantisme kejayaan pendahulu yang hanya tersimpan di dunia ide telah menimbulkan kemalasan dalam menjalani proses untuk seorang kader.
Berikutsejarah singkat masa perjuangan HMI dari fase X sampai XI. Fase X: Tantangan II, Pasca Reformasi Dari Tahun 2000-sekarang. Fase tantangan kedua ini muncul justru setelah Orde Reformasi berjalan selama dua tahun. Berdasarkan berbagai sikap PB HMI dalam memasuki era reformasi seharusnya mengalami perkembangan yang signifikan dalam menjawab berbagai tantangan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Vay Tiền Trả Góp Theo Tháng Chỉ Cần Cmnd Hỗ Trợ Nợ Xấu. YakusaBlog- Dalam perjalanan perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam HMI, sepanjang sejarahnya, dari sejak berdirinya 1947 hingga kini, HMI telah mengalami dan melewati sebelas fase, antara lain Fase I Konsolidasi Spiritual dan Proses Berdirinya HMI 1946 Bermula dari latar belakang munculnya pemikiran dan berdirinya HMI serta kondisi obyektif yang mendorongnya, maka rintisan untuk mendirikan HMI muncul di bulan November 1946. Permasalahan yang dapat diangkat dari latar belakang berdirinya HMI, merupakan suatu kenyataan yang harus diantisipasi dan dijawab secara cepat dan konkrit dan menunjukkan apa sebenarnya Islam itu. Maka pembaharuan pemikiran di kalangan umat Islam bangsa Indonesia suatu keniscayaan. Fase II Berdirinya dan Pengokohan 5 Februari – 30 November 1947 Selama lebih kurang sembilan bulan, reaksi-reaksi terhadap HMI barulah berakhir. Masa sembilan bulan itu dipergunakan untuk menjawab berbagai reaksi dan tantangan silih berganti, yang semuanya itu untuk mengokohkan eksistensi HMI sehingga dapat berdiri tegar dan kokoh. Maka diadakanlah berbagai aktivitas untuk popularisasi organisasi dengan mengadakan ceramah-ceramah ilmiah dan rekreasi malam-malam kesenian. Di bidang organisasi, HMI mulai mendirikan cabang-cabang baru seperti Klaten, Solo, dan Yogyakarta. Pengurus HMI bentukan 5 Februari 1947 otomatis menjadi PB HMI pertama dan merangkap menjadi Pengurus HMI Cabang Yogyakarta I. Ada kesan bahwa keanggotaan HMI hanya untuk mahasiswa Sekolah Tinggi Islam STI. Untuk menghilangkan anggapan yang keliru itu, tanggal 22 Agustus 1947, PB HMI diresuffle. Ketua Lafran Pane digantikan oleh Mintaredja dari Fakultas Hukum BPT GM, sedankan Lafran Pane menjadi Wakil Ketua merangkap Ketua HMI Cabang Yogyakarta. Sejak itu mahasiswa BPT GM, STT mulai masuk dan berbondong-bondong menjadi anggota HMI. Di Yogyakarta tanggal 30 November 1947 diadakan Kongres I HMI. Fase III Perjuangan Bersenjata, Perang Kemerdekaan, Menghadapi Penghianatan dan Pemberontakan PKI 1947-1949 Seiring dengan tujuan HMI yang digariskan sejak awal berdirinya, maka konsekuensinya dalam masa perang kemerdekaan, HMI terjun ke gelanggang medan pertempuran melawan Belanda, membantu pemerintah baik langsung maupun memegang senjata bedil dan bambu runcing sebagai staf penerangan, penghubung dan lain-lain. Untuk menghadapi pemberontakan Madiun 18 September 1948, Ketua PMI/Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa CM, dengan Komandan Hartono, Wakil Komandan Ahmad Tirtosudiro, ikut membantu pemerintah menumpas pemberontakan Partai Komunis Indonesia PKI di Madiun dengan menggerakkan anggota CM ke gunung-gunung, memperkuat aparat pemerintah. Sejak itulah dendam PKI terhadap HMI tertanam dan terus berlanjut sampai puncaknya pada tahun 1964-1965 yaitu gerakan pengganyangan terhadap HMI menjelang meletusnya Gestapu/PKI 1965. Pada fase ini berlangsung peringatan ulang tahun pertama HMI di Bangsal Kepatihan tanggal 6 Februari 1948. Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia Jenderal Sudirman memberi sambutan pada peringatan tersebut atas nama pemerintah Republik Indonesia. Jenderal Sudirman selain mengartikan HMI sebagai Himpunan Mahasiswa Islam, HMI juga diartikannya sebagai Harapan Masyarakat Indonesia. Karena mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, HMI juga diartikan sebagai Harapan Masyarakat Islam Indonesia. Pada fase ini juga berlangsung Kongres Muslim Indonesia II di Yogyakarta tanggal 20 sampai dengan 25 Desember 1949. Kongres itu dihadiri oleh 185 organisasi, alim ulama dan intelegensia seluruh Indonesia. Di antara tujuh dari keputusannya dibidang organisasi salah satu keputusannya adalah memutuskan bahwa Hanya satu organisasi mahasiswa Islam, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam HMI yang bercabang di tiap-tiap kota yang ada sekolah tinggi. Fase IV Pembinaan dan Pengembangan Organisasi 1950-1963 Selama anggota HMI banyak yang terjun ke gelanggang medan pertempuran membantu pemerintah mengusir penjajah, selama itu pula pembinaan organisasi HMI terabaikan. Namun hal itu dilaksanakan dengan sadar, karena itu semua untuk merealisir tujuan HMI sendiri, serta dwitugasnya yakni tugas agamanya dan tugas bangsanya. Maka dengan adanya pengakuan kedaulatan rakyat tanggal 27 Desember 1949, mahasiswa yang berminat melanjutkan kuliahnya bermunculan di Yogyakarta. Sejak tahun 1950, dilaksanakan usaha-usaha konsolidasi organisasi sebagai masalah besar sepanjang masa. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta. Diantara usaha-usaha yang dilaksanakan selama tiga belas tahun itu antara lain Pembentukan cabang-cabang baru, Menerbitkan majalah sejak 1 Agustus 1954 Sebelumnya terbit Criterium, Cerdas dan tahun 1959 menerbitkan majalah Media, Sudah tujuh kali Kongres HMI, Pengesahan atribut HMI seperti lambang, bendera, muts, hymne HMI, Merumuskan tafsir asas HMI, Pengesahan kepribadian HMI, Pembentukan Badan Koordinasi BADKO HMI, Menentukan metode pelatihan Training HMI., Pembentukan lembaga-lembaga HMI di bidang ekstern, Pendayagunakan PPMI., Menghadapi Pemilihan Umum Pemilu I tahun 1955, Penegasan Independensi HMI, Mendesak pemerintah supaya mengeluarkan UU PT, tuntutan agar pendidikan agama sejak dari Sekolah Rakyat SR sampai Perguruan Tinggi, Mengeluarkan konsep “peranan agama dalam pembangunan, dan lain-lainya. Selain masa internal, muncul pula persoalan eksternal yang sangat menonjol. Justru karena keberhasilan HMI melaksanakan konsolidasi organisasi ada golongan yang iri dan tidak senang kepada HMI yaitu Partai Komunis Indonesia PKI. Tidak dibubarkan dan dilarangnya PKI akibatnya pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, PKI otomatis mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali. Tanggal 21 Februari tahun 1957, Presiden Soekarno mengumumkan konsepsinya supaya kabinet berkaki empat dengan unsur PNI, Masyumi, NU dan PKI sebagai 4 besar pemenang pemilu 1955. Berikutnya di Moscow tanggal 19 November 1957 dicetuskanlah Manfesto Moscow, yaitu satu program untuk mengkomunikasikan Indonesia. Akibat itu semua, PKI tampil sebagai partai pemerintah. Masyumi, akibat penentangan terhadap kebijakan politik Presiden Soekarno, dengan Manipol Usdeknya, dengan Keputusan Presiden nomor 200 tanggal 17 Agustus tahun 1960 Masyumi dipaksa bubar. Untuk menghadapi perkembangan politik, Kongres V HMI di Medan tanggal 24-31 Desember 1957 mengeluarkan dua sikap antara yaitu Haram hukumnya menganut ajaran dan paham komunikasi karena bertentangan Islam, yang kedua, Menuntut supaya Islam sebagai dasar negara. Buku dapat dipesan di Tokopedia. Klik Gambar Fase V Tantangan I 1964-1965 Dendam PKI terhadap HMI yang tertanam karena keikutsertaan HMI dalam menumpas pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, menempatkan HMI sebagai organisasi yang harus bubar, karena dianggap sebagai penghalang bagi tercapainya tujuan PKI. Untuk itulah dilaksanakanlah berbagai usaha untuk membubarkan HMI. Sesuai hasil Kongres II Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia CGMI, organisasi underbow PKI di Salatiga, Juni 1961, untuk melekuidisi HMI. PKI, CGMI dan organisasi lainnya yang seideologi mulai melakukan gerakan pembubaran HMI disokong seluruh simpatisan dari tiga partai besar yaitu Partai Komunis Indonesia PKI, Partai Indonesia PARTINDO dan Partai Nasional Indonesia PNI dan juga seluruh underbow ketiga partai tersebut yang semuanya berjumlah 42 partai. Untuk membubarkan HMI sekitar bulan Maret 1965, dibentuk Panitia Aksi Pembubaran HMI di Jakarta yang terdiri dari CGMI, GMNI, GRMINDO, GMD, MMI, Pemuda Marhaenis, Pemuda Rakyat, Pemuda Indonesia, PPI, dan APPI. Menjawab tantangan ini, Generasi Muda Islam GEMUIS yang terbentuk tahun1964 membentuk Panitia Solidaritas Pembebelaan HMI, yang terdiri dari unsur-unsur pemuda, pelajar, mahasiswa Islam seluruh Indonesia. Bagi umat Islam, HMI merupakan taruhan terakhir yang harus dipertahankan setelah sebelumnya Masyumi dibubarkan. Kalau HMI sampai dibubarkan, maka satu-persatu dari organisasi Islam akan terkena sapu pembubaran. Namun gerakan pembubaran HMI ini gagal justeru dipuncak usaha-usaha pembubarannya. Dalam acara penutupan Kongres CGMI tanggal 29 September 1965 di Istora Senayan. Meski PKI terus melakukan provokasi kepada Presiden Soekarno, seperti diungkapkan DN. Aidit, “Kalau anggota CGMI tidak bisa membubarkan HMI, anggota CGMI yang laki-laki lebih pakai kain sarung saja... kalau semua front garis depan-peny sudah minta, Presiden akan membubarkan HMI”. Namun ternyata HMI tidak dibubarkan, bahkan dengan tegas Presiden Soekarno mengungkapkan dalam pidatonya “Pemerintah mempunyai kebijakan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada kehidupan organisasi mahasiswa yang revolusioner. Tapi kalau organisasi mahasiswa yang menyeleweng itu menjadi kontra revolusi umpamanya HMI, aku sendiri yang akan membubarkannya. Demikian pula kalau CGMI menyeleweng menjadi kontra revolusi juga akan kububarkan”. Karena gagal usaha untuk membubarkan HMI, maka PKI sudah siap bermain kekerasan. PKI takut didahului umat Islam untuk merebut kekuasaan dari pemerintahan yang sah, maka meletuslah Pemberontakan G 30 S/PKI 1965. Fase VI Kebangkitan HMI Sebagai Pejuang Orde Baru dan Pelopor Kebangkitan Angkatan ’66 1966-1968 Pada fase ini HMI mengalami dan melewati tantangannya, yaitu; tanggal 1 Oktober adalah tugu pemisah antara Orde Lama dan Orde Baru. Apa yang disinyalir PKI, seandainya PKI gagal membubarkan PKI, maka HMI akan tampil kedua kalinya menumpas pemberontakan PKI dan itu benar-benar terjadi. Wakil Ketua PB HMI Mar’ie Muhammad, pada tanggal 25 Oktober 1965 mengambil inisiatif mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia KAMI, sebagaimana yang dilakukan oleh Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa CM untuk menghadapi pemberontakan PKI di Madiun. Tritura 10 Januari 1966 “Bubarkan PKI, Reatol Kabinet dan Turunkan Harga”. Surat Perintah Sebekas Maret 1966. Dibubarkan dan dilarangnya PKI tanggal 12 Maret 1966. Kabinet Ampera terbentuk, HMI diajak hearing pembentukan kabinet, dan alumni HMI masuk dalam kabinet. Fase VII Partisipasi HMI Dalam Pembangunan 1969-1970 Setelah Orde Baru mantap dan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 sudah dilaksankan secara murni dan konsekuen, maka sejak tanggal 1 April 1969 dimulailah rencana pembangunan lima tahun Repelita-peny dan sudah menyelesaikan pembangunan 25 tahun pertama, kemudian menyusul pembangunan 25 tahun kedua. Pembangunan Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur bukanlah pekerjaan mudah, tetapi sebaliknya merupakan pembangunan raksasa yang sangat sulit-peny sebagai usaha kemanusiaan yang tidak habis-habisnya. Partisipasi segenap warga negara sangat dibutuhkan. HMI pun sesuai dengan lima aspek pemikirannya, telah memberikan sumbangan dan partisipasinya dalam pembangunan a. Partisipasi dalam pembentukan suasan, situasi dan iklim yang memungkinkan dilaksanakannya pembangunan, b. Partisipasi dalam pemberian konsep-konsep di berbagai aspek pemikiran; pertisipasi dalam bentuk langsung dari pembangunan. FaseVIII Pergolakan dan Pembaharuan Pemikiran 1970-1998 Selama kurun waktu Orde Lama 1959-1965 kebebasan mengeluarkan pendapat baik yang bersifat akademis terlebih-lebih politik terkekang dengan ketat. Suasana itu berubah tatkala Orde Baru muncul, walaupun kebebasan hakiki belum diperoleh sebagaimana mestinya. Sama halnya dipenghujung pemerintahan Soeharto dianggap sebagai suatu perbedaan yang tidak pada tempatnya tidak ada keadilan-peny. Namun walaupun demikian, kebebasan datang, kondisi terbatas dapat dimanfaatkan, baik yang berkaitan dengan agama, akademik, dan politik. Kejumudan dan suasana tertekan pada masa Orde Lama mulai cair terutama dalam pembaharuan pemikiran Islam yang dipandang sebagai suatu keharusan, sebagai jawaban terhadap berbagai masalah untuk memenuhi kebutuhan kontemporer. Hal seperti itu muncul dikalangan HMI dan mencapai puncaknya pada tahun 1970. Tatkala Nurcholis Madjid dikenal panggilan Cak Nur-peny menyampaikan ide pembaharuannya dengan topik Keharusan Pembaharuan Pemikiran Dalam Islam Dan Masalah Integrasi Umat. Sikap itu diambil, karena apabila kondisi ini dibiarkan mengakibatkan persoalan-persoalan umat yang terbelenggu selama ini, tidak akan memperoleh jawaban yang efektif. Sebagai konsekuensinya muncul pergolakan pemikiran dalam tubuh HMI yang dalam berbagai substansi permasalahan timbul perbedaan pendapat, penafsiran dan interpretasi. Hal itu tercuat dalam bentuk seperti persoalan negara Islam, Islam Kaffah, sampai kepada penyesuaian dasar HMI dari Islam menjadi Pancasila. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 yang mengharuskan bahwa semua partai dan organisasi harus berdasarkan Pancasila. Kongres ke-16 HMI di Padang tahun 1986, HMI menyesuaikan diri dengan mengubah asas Islam dengan Pancasila. Akibat penyesuaian ini beberapa orang anggota HMI membentuk MPO Majelis Penyelamat Organisasi-peny, akibatnya HMI pecah menjadi dua yaitu HMI DIPO karena sekretriatnya di jln. Diponegoro dan sekarang sudah di Jl. Sultan Agung-peny dan HMI MPO. Fase IX Reformasi 1998-2000 Apabila dicermati dengan seksama secara secara historis HMI sudah mulai melaksanakan gerakan reformasi dengan menyampaikan beberapa pandangan yang berbeda serta kritik maupun evaluasi secara langsung terhadap pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1995. Sesuai dengan kebijakan PB HMI, bahwa HMI tidak akan melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional dan konfrontasi terhadap Pemerintah. HMI melakukan dan menyampaikan kritik secara langsung yang bersifat konstruktif. Koreksi dan kritik yang dimaksud, pertama, disampaikan M. Yahya Zaini Ketua Umum PB HMI Periode 1992-1995 ketika memberikan kata sambutan pada pembukaan Kongres HMI ke-20 HMI di Istana Negara Jakarta tanggal 21 Januari 1995. Koreksi itu antara lain, bahwa menurut penilaian HMI, pembangunan ekonomi kurang diikuti dengan pembanguna politik. Masih dirasakan tingkat perubahan pada sistem politik tidak sebanding dengan perubahan ekonomi. Dalam pembangunan politik istitusi-isntitusi politik atau badan-badan demokrasi belum maksimal memainkan fungsi perannya. Akibatnya aspirasi masyarakat masih sering tersumbat terhalang atau tidak sampai-peny. Kondisi inilah yang menuntut kita, pemerintah dan masyarakat untuk terus menggelindingkan mewujudkan-peny proses demokrasi dengan bingkai Pancasila tetapi ini harus diikuti dengan pemberdayaan masyarakat. Dalam suasana demikian, proses saling kontrol akan terbangun. Selain itu HMI melihat masih banyak distorsi dalam proses pembangunan. Gejala penyalah gunaan kekuasaan, kesewenang-wenangan, praktek kolusi, korupsi dan nepotisme KKN-peny adalah cerminan tidak berfungsi sistem nilai yang menjadi kontrol dan landasan etika dan bekerjanya suatu sistem. Suatu reformasi berikutnya dengan fokus yang lebih tajam, lugas dihadapan Presiden Soeharto tatkala menghadiri dan memberikan sambutan pada peringatan Ulang Tahun Emas 50 tahun HMI di Jakarta tanggal 20 Maret 1997 satu tahun sebelum reformasi, dimana Taufik Hidayat Ketua Umum PB HMI 1995-1997 menegaskan; sekaligus jawaban atas kritik-kritik yang memandang HMI terlalu dekat dengan kekuasaan. Bagi HMI, kekuasaan atau politik bukanlah wilayah yang haram, politik justeru mulia, apabila dijalankan di atas etika dan bertujuan untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Lantaran itu, HMI akan mendukung kekuasaan pemerintah yang sungguh-sungguh dalam meperjuangkan kebenaran dan keadilan. Sebaliknya, HMI akan tampil ke depan menentang kekuasaan yang korup dan menyeleweng. Inilah dibuktikan ketika HMI terlibat aktif dalam merintis dan menegakkan Orde Baru. Demikian juga pada saat sekarang ini dan masa-masa yang mendatang. Kritik-kritik ini tidak boleh mengurangi rasa percaya diri HMI untuk tetap melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar. Pemikiran dan reformasi selanjutnya disampaikan Ketua Umum PB HMI 1997-1998 Anas Urbaningrum pada waktu peringatan Ulang Tahun HMI ke-51 di Graha Insan Cita Depok tanggal 22 Februari 1998, dengan judul Urgensi Reformasi Bagi Pembangunan Bangsa Yang Bermartabat. Pidato itu disampaikan 3 bulan sebelum lengsernya Presiden Soeharto 21 Mei 1998. Suara dan tuntutan reformasi telah dikumandangkan pula dalam berbagai aspek, yang disamapaikan Anas Urbaningrum pada peringatan ulang tahun ke-52 di Auditorium Sapta Pesona Departemen Parawisata Seni dan Budaya Jakarta 5 Februari 1999, dengan judul Dari HMI Untuk Kebersamaan Bangsa Menuju Indonesia Baru. Tuntutan reformasi juga disampaikan Ketua Umum PB HMI M. Fahruddin pada peringatan Ulangtahun HMI ke-53 di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 5 Februari 2000 dengan judul “Merajut Kekuasaan Oposisi Membangun Demokrasi, Membangun Peradaban Baru Indonesia.” Fase X Tantangan II 2000-sekarang Fase tantangan kedua ini muncul justru setelah Orde Reformasi berjalan dua tahun. Semestinya berdasarkan landasan-landasan atau sikap-sikap yang telah diambil PB HMI memasuki era reformasi semestinya HMI mengalami perkembangan yang signifikan menjawab berbagai tantangan sesuai dengan perannya sebagai organisasi perjuangan yang harus tampil sebagai pengambil inisiatif dalam memajukan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Akan tetapi justru sebaliknya HMI secara umum mengalami kemunduran, yang secara intensif disinyalir Agussalim Sitompul dalam bukunya 44 Indikator Kemunduruan HMI. Jika pada fase tantangan I 1964-1965 HMI dihadapkan pada tantangan eksternal yaitu menghadapi PKI, pada fase tantangan II ini HMI dihadapkan sekaligus pada dua tantangan besar secara internal dan eksternal sekaligus. Pertama, tantangan internal. Kajian tentang HMI saat ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan sekarang dan mendatang, HMI ditantang a. Masalah eksistensi dan keberadaan HMI, seperti menurunnya jumlah mahasiswa baru masuk HMI, tidak terdapatnya HMI diberbagai perguruan tinggi, institut, fakultas, akademi, program studi, sebagai basis HMI. b. Masalah relevansi pemikiran-pemikiran HMI, untuk melakukan perbaikan dan perubahan yang mendasar terhadap berbagai masalah yang muncul yang dihadapi bangsa Indonesia. c. Masalah peran HMI sebagai organisasi perjuangan yang sanggup tampil dalam barisan terdepan sebagai avent grade, kader pelopor bangsa dalam mengambil inisiatif untuk melakukan berbagai perubahan yang sangat dibutuhkan masyarakat. d. Masalah efektifitas HMI untuk memecahkan masalah yang dihadapi bangsa, karena banyak organisasi yang sejenis maupun yang lain, yang dapat dapat tampil lebih efektif dan dapat mengambil inisiatif terdepan untuk memberi solusi terhadap problem yang dihadapi bangsa Indonesia. Sebagai jawabannya, menurut perpecahan yang bersifat teoritis dan praktis, akan tetapi semuanya bersifat konseptual, integratif, inklusif. Sebab pendekatan yang tidak konseptual, parsial dan ekslusif tidak akan melahirkan jawaban yang efektif. Untuk itu dibutuhkan ide dan pemikiran dari anggota aktifitas kader, dan pengurus HMI di seluruh jenjang organisasi. Kedua, tantangan eksternal. Berbagai tantangan eksternal juga dihadapkan kepada HMI yang tidak skala besar dan rumitnya dari tantangan internal, antara lain a. Tantangan menghadapi perubahan jaman yang jauh berbeda dari abad ke-20 dan yang muncul pada abad ke-21 ini. b. Tantangan terhadap peralihan generasi yang hidup dalam jaman dan situasi yang berada dalam berbagai aspek kehidupan khususnya yang dijalani generasi muda bangsa. c. Tantangan untuk mempersiapkan kader-kader dan alumni HMI, yang akan menggantikan alumni-alumni HMI yang saat ini menduduki berbagai posisi strategis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena regenerasi atau pergantian pejabat-pejabat, suka tidak suka, mau tidak mau, pasti terus berlangsung. d. Tantangan menghadapi bahaya abadi komunis. e. Tantangan menghadapi golongan lain, yang mempunyai misi lain dari umat Islam dan bangsa Indonesia. f. Tantangan tentang adanya kerawanan aqidah. g. Tantangan menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang terus berkembang tanpa henti. h. Tantangan menghadapi perubahan dan pembaharuan di segala aspek kehidupan manusia yang terus berlangsung sesuai dengan semangat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat kompetitif. i. Tantangan menghadapi masa depan yang belum dapat diketahui bentuk dan coraknya. j. Kondisi umat Islam di Indonesia yang dalam kondisinya belum bersatu. k. Kondisi dan keadaan Perguruan Tinggi serta dunia kemahasiswaan, kepemudaan, yang penuh dengan berbagai persoalan dan problematika yang sangat kompleks. l. Tantangan HMI menuju Masyarakat Ekonomi Asean peny. m. Tantangan menghadapi politik Indonesia yang tidak kondusif dan tidak membangun karakter kebangsaan Indonesia. Pada fase tantangan II ini, nampaknya HMI semakin memudar dan mundur yang telah berlangsung 25 tahun sejenak, dari tahun 1980-2005. HMI tidak mampu bangkit secara signifikan, bahkan dalam dua periode terakhir PB HMI mengalami perpecahan. Karena itu, menghadapi tantangan tersebut, HMI dengan segenap aparatnya harus mampu menghadapinya dengan penuh semangat dan militansi yang tinggi. Apakah HMI mampu menghadapi tantangan itu, sangat ditentukan oleh pemegang kendali organisasi sejak dari PB HMI, Pengurus Badko HMI, Cabang HMI, Korkom HMI, Komisariat, Lembaga-Lembaga Kekaryaan, serta segenap anggota HMI, maupun alumninya yang tergabung dalam KAHMI sebagai penerus, pelanjut serta penyempurna mission sacre HMI. Peralihan jaman, peralihan generasi, saat ini menentukan bagi eksistensi HMI di masa mendatang. Fase XI Kebangkitan Kembali Gelombang kritik terhadap HMI tentang kemundurannya telah menghasilkan dua umpan balik. Pertama, telah muncul kesadaran individual dan kesadaran kolektif bersama-peny di kalangan anggota, aktivis, kader, bahkan alumni HMI serta pengurs dimulai dari Komisariat sampai PB HMI, bahwa HMI sedang mengalami kemunduran. Kedua, selanjutnya dari kesadaran itu muncul kesadaran baru, baik secara individual dan kesadaran bersama dikalangan anggota, aktivis, kader, alumni dan pengurus bahwa dalam tubuh HMI mutlak dilakukan perubahan dan pembaharuan supaya dapat bangkit kembali seperti masa jaya-jaya dulu. Sampai sejauh mana kebenaran dan bukti adanya indikator-indikator kebangkitan kembali HMI, sejarahlah yang akan menentukan kelak. Kita semua berharap dengan penuh optimis sesuai dengan ajaran Islam supaya manusia bersikap optimis, agar HMI dapat mengakhiri masa kemundurannya dan memasuki masa kebangkitannya secara meyakinkan. Di tangan generasi sekaranglah sebagai generasi penerus, pelanjut, dan penyempurna perjuangan organisasi mahasiswa Indonesia tertua ini HMI. Yakinkan dengan Iman, Usahakan dengan Ilmu, Sampaikan dengan Amal, Bahagia HMI, Jayalah Kohati, Yakin Usaha Sampai.[] net/Ilustrasi Sumber
Opini – Penulis pikir melihat HMI hanya dari keberhasilan-keberhasilannya saja sungguh sangat tidak fair, dan naif. Penulis juga merupakan kader HMI, kendati dimikian, itu tidak membuat penulis berada pada keberpihakannya terhadap HMI. Pada tulisan kali ini penulis mencoba melihat kembali HMI dengan kondisi objektif. Fase fase perjuangan HMI yang sering di katakan senior-senior, alumni, atau master of training ketika di forum forum perkaderan, bahkan ke obrolan obrolan non formal di lingkup kampus sampai ruang sekretariat, mengenai keberhasilan keberhasilan HMI dalam fase perjuangan nya memang membawa penulis kepada romantisme perjuangan HMI dari jaman ke jaman. Di sisi lain juga tidak dapat menafikan bahwa penulis sedikit terjebak pada romantisme perjuangan HMI dan memunculkan pertanyaan “Bagaimana HMI hari ini?”. Berbanding terbalik dengan keberhasilan nya di fase fase perjuangan, HMI sendiri masih mencokolkan budaya feodalistik sampai hari ini. Seperti ; ijin kanda dan tertib dinda. Lebih eksplisit nya ketika di tubuh himpunan mempersoalkan siapa yang lebih dulu melakukan LK-1 dan training- training formal lainnya di HMI, ia yang wajib memberikan intruksi dan memastikan ketertiban adik adik. Sebaliknya, ia yang baru lulus LK-1 harus tertib dan mengantri. Belum lagi ketika ada senior yang tiba tiba datang menjelang RAK Komisariat atau event-event kontestasi lain yang ada di hmi, kemudian sesudahnya kembali menghilang. Hal-hal demikian yang secara tidak langsung memangkas potensi juga kemauan kader yang ingin berproses dan menjadi sisi gelap HMI sebagai organisasi perkaderan. Untuk melihat kondisi HMI dewasa ini, seperti ditulis Agussalim Sitompul, dalam bukunya “44 Indikator Kemunduran HMI”, telah mengungkapkan secara gamblang kemunduran yang dialami HMI. Salah satu indikator kemunduran yang di kemukakannya dan masih relate dengan kondisi hari ini ialah ”Menurunnya peran HMI dalam gerakan-gerakan mahasiswa di tingkat regional maupun nasional dalam merespon berbagai tantangan”, keadaan dimana kita melihat HMI lamban merespon issue dan tantangan, atau tidak lagi melihat HMI sebagai fasilitator konsolidasi gerakan mahasiswa, alih alih menjadi fasilitator konsolidasi justru malah sebaliknya. Tidak lagi dapat mengintegrasikan diri dengan massa rakyat, apalagi membangun keberpihakannya terhadap yang tertindas, membawa HMI jauh dari akar rumput. Memudarnya “tradisi intelektual HMI”. Hemat penulis, indikator memudarnya tradisi intelektual HMI terletak pada konflik internal di tubuh organisasi, adanya dualisme antar kelompok dengan kepentingan yang berkelit kelindan, seakan akan himpunan hanya sebatas menjadi arena pertarungan antar kelompok saja dan mengesampingkan substansi serta arah perjuangan HMI. Lebih parahnya, kerap kali dalam tradisi intelektual HMI kader kadernya selalu di hadapkan dengan orientasi politik, yang penulis nilai sebagai bentuk telanjang dari pragmatisme. Hal hal demikian berimplikasi negatif juga berdampak panjang, baik pada tingkatan pengurus besar, cabang, bahkan sampai komisariat. Menjadi problem besar di tengah-tengah kemajemukan narasi HMI yang konon katanya kritis, dan hmi tertinggal dari misinya menciptakan “Muslim Intelegensia”. Nurkholis Madjid, memberikan peringatan keras terhadap HMI ketika menjelang kongres ke- 23 HMI di Balikpapan tahun 2002. Dalam peringatan itu mengatakan bahwa apabila HMI tidak bisa melakukan perubahan, lebih baik membubarkan diri. Peringatan itu sebagai shock therapy, dengan harapan, HMI dapat dan mampu melakukan perubahan terhadap dirinya yang banyak kalangan dipandang bahwa dalam tubuh HMI ditemukan berbagai kekurangan yang sifatnya negatif Baca Refleksi 63 Tahun Perjuangan Hmi Mendiagnosa Lima Zaman Perjalanan Hmi “Suatu Tinjauan Historis Dan Kritis Terhadap Fase-Fase Perjuangan Hmi” Dalam Menjawab Tantangan Masa Depan, Agussalim Sitompul. HMI hari ini tepatnya, sudah berumur 74 tahun sejak didirikannya, usia yang cukup tua. Setengah abad lebih HMI malang melintang di indonesia, yang seharusnya di imbangi dengan kontribusi dan karya kader kadernya dalam menghadapi jaman. Penulis teringat sebuah pernyataan dari Jurgen Moltmann “Berteologi adalah sebuah upaya berdialog dengan siapapun. Ia bukan sebuah upaya mengurung diri kepada pembebasan dari penindasan”. Semangat itu bukan hanya semangat berteologi, tapi juga menjadi semangat beragama, demikian hal nya dengan semangat ber-HMI. Pada akhirnya, ber-HMI bukan hanya sekedar “semangat mengikat diri” pada institusi stagnan, pada “nyamannya rumah”, atau pada “nyamannya dogmatika”. Tapi menjadi kesadaran juga semangat kolektif untuk membebaskan yang tertindas. Membangkitkan HMI dari persimpangan sejarah, menjadikan HMI yang mengintegrasikan dirinya dengan massa rakyat, HMI yang membangun keberpihakan terhadap kaum mustadh’afin, dan HMI yang merespon jaman. Tulisan ini sengaja di buat sebagai bentuk dedikasi terhadap organisasi yang sudah berusia senja ini, sebuah kritik untuk HMI dari penulis yang juga merupakan kader Himpunan Mahasiswa Islam. Doni Nuryana Penulis Doni HmI Cabang Ciputat Komisariat Fakultas Teknik Unpam Teruntuk pembaca setia Sabba “Semua harus ditulis, apa pun. Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting, tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna” Pramoedya Ananta Toer
fase fase perjuangan hmi